Rabu, 28 Maret 2012

Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain :
1.    pelindung garis pantai,
2.    mencegah intrusi air laut,
3.    habitat (tempat tinggal),
4.    tempat mencari makan (feeding ground),
5.    tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground),
6.    tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan,
7.    serta sebagai pengatur iklim mikro.
Sedangkan fungsi ekonominya antara lain :
1.    penghasil keperluan rumah tangga,
2.    penghasil keperluan industri, dan
3.    penghasil bibit.
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). 


Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama yaitu
1.    Ekologi dan sosial ekonomi,
Ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya  di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
2.    Kelembagaan dan perangkat hukum,
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut.
3.    Strategi dan pelaksanaan rencana.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.




Sumber :

  • Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
  • Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.
  • Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.
Nb : untuk informasi tentang Pengelolaan Ekosistem Lamun silahkan kunjungi -- brilliant-stupidities.blogspot.com --

Kamis, 22 Maret 2012

Warna Laut

Cahaya
Pernahkah anda melihat laut? Bagi seorang seniman, laut bisa dijadikan sebagai bahan ekspresi yang menggambarkan kedamaian hati terutama dengan menampilkan warna biru air laut. Tapi apakah benar air laut itu berwarna biru? Inilah jawabannya.
Pada dasarnya, air tidak memiliki warna. Air hanya menyerap cahaya yang kemudian merefleksikannya. Ada dua proses optik utama pada air laut, dan zat terlarut atau tersuspensi dalam air laut, saat berinteraksi dengan cahaya yang masuk dari Matahari. Dua proses ini adalah penyerapan ( absorption ) dan hamburan ( scattering ).
Di atmosfer, alasan utama bahwa langit berwarna biru adalah disebabkan oleh hamburan cahaya. Di laut, cara utama air berinteraksi adalah dengan penyerapan cahaya, air menyerap cahaya merah, dan pada tingkat lebih rendah, air juga menyerap cahaya kuning dan hijau, menyebabkan warnanya bisa berubah ubah tergantung kedalaman dan tempatnya.
“Warna biru merupakan warna yang paling tidak diserap oleh air, sehingga air nampak berwarna biru”.
Singkatnya, semakin dalam kedalaman laut, semakin ia berwarna kebiruan. Berikut adalah diagram yang menunjukkan kedalaman cahaya yang akan menembus di air laut beserta warna yang mengandungnya. Karena cahaya merah diserap kuat, menjadikannya hilang, dan cahaya biru terus menembus masuk kedalam. Saat matahari mulai terbenam dan terbit, air laut akan kelihatan merah di permukaannya dikarenakan penyerapan cahaya tersebut. Warna yang berbeda pada laut, sungai dan danau juga disebabkan oleh tanaman yang hidup di dasarnya seperti alga yang terdapat pada laut merah, dan endapan yang terbawa didalam air. Seperti warna coklat yang merupakan endapan yang terbawa dari sungai, sehingga membuat warnanya nampak keruh
Warna air laut ditentukan oleh kekeruhan air laut itu sendiri dari kandungan sedimen yang dibawa oleh aliran sungai. Pada laut yang keruh, radiasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tumbuhan laut akan kurang dibandingkan dengan air laut jernih. Pada perairan laut yang dalam dan jernih, fotosintesis tumbuhan itu mencapai 200 meter, sedangkan jika keruh hanya mencapai 15 – 40 meter. Laut yang jernih merupakan lingkungan yang baik untuk tumbuhnya terumbu karang dari cangkang binatang koral.
Air laut juga menampakan warna yang berbeda-beda tergantung pada zat-zat organik maupun anorganik yang ada. Ada beberapa warna-warna air laut karena beberapa sebab:
  1. Pada umumnya lautan berwarna biru, hal ini disebabkan oleh sinar matahari yang bergelombang pendek (sinar biru) dipantulkan lebih banyak dari pada sinar lain.
  2. Warna kuning, karena di dasarnya terdapat lumpur kuning, misalnya sungai kuning di Cina. 
  3. Warna hijau, karena adanya lumpur yang diendapkan dekat pantai yang memantulkan warna hijau dan juga karena adanya planton-planton dalam jumlah besar. 
  4. Warna putih, karena permukaannya selalu tertutup es seperti di laut kutub utara dan selatan.  
  5. Warna ungu, karena adanya organisme kecil yang mengeluarkan sinar-sinar fosfor seperti di laut ambon. 
  6. Warna hitam, karena di dasarnya terdapat lumpur hitam seperti di laut hitam. 
  7. Warna merah, karena banyaknya binatang-binatang kecil berwarna merah yang terapung-apung.

Sumber :

  1. http://mistupid.com/chemistry/seawatercomp.html
  2. http://blog.iptek-online.com/education/132-laut.html 

untuk info salinitas dan densitas air laut silahkan kunjungi -- auroraaqua.blogspot.com --
terima kasih.:D